![]() |
Add caption |
Al-Qur'an adalah sebuah kalam yang diturunkan dalam bahasa Arab. Dengan demikian wajib mengikuti kaidah yang ada pada bahasa Arab, sehingga makna yang dimaksudkan al-Qur'an tidaklah berubah. Kaidah bahasa dalam hal ini adalah nahwu untuk urusan susunan katanya, dan tajwid untuk urusan cara membacanya. Sedangkan yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah kaidah yang berkaitan dengan cara membacanya.
Dahulu, ketika al-Qur'an diturunkan, belum diperlukan ilmu semacam ini, karena orang Arab dengan tabiatnya telah terbiasa membaca dengan benar bahasa Arab yang mana merupakan bahasa komunikasi mereka sehari-hari. Namun ketika Islam telah berkembang, diperlukanlah aturan ini, karena banyaknya muslim yang selain Arab yang tidak lagi mempunyai tabiat bahasa seperti orang Arab. Orang-orang ini sering salah dalam mebaca al-Qur'an baik secara ’rob ataupun ahkam al-hurufnya. Sadar dengan keadaan ini, para ulama kemudian merumuskan kaidah yang mengatur tentang i’rob dan bagaimana membaca al-Qur'an dengan sebaik-baik bacaan. Karena itu muncullah dua ilmu, Tajwid dan Nahwu.
Ilmu Tajwid
Tajwid menurut bahasa adalah mashdar dari lafadz جوّد, يجوّد berarti memperbaiki atau membuat baik (Abdu al-Qayyum bin ‘Abd al-Ghafur al-Sind: 2001: 159). Isim dari kata tersebut adalah kataجودة yaitu lawan kata الرداءة (keburukan, kejelekan). Dalam Nihayah al-Qaul al-Mufid dijelaskan bahwa makna tajwid itu adalah puncak maksimal dalam penyempurnaan, serta sampainya batas akhir dalam berbuat baik (Hasaniy Syaikh Utsman: 1994).
Sementara menurut istilah ulama,ada beberapa variasi definisi yang dikemukakan para ulama. Menurut Abdu al-Qayyum dalam kitab Shafahatnya, ilmu tajwid adalah ilmu tentang tata cara membaca kata-kata dalam al-Qur'an al-Karim dari segi pengucapan huruf dari makhrajnya serta memberikan haknya huruf sesuai dengan huruf yang berhak. Sementara itu menurut Hasaniy Syaikh Utsman, ilmu tajwid adalah ilmu yang dengannya bisa diketahui cara-cara mengucapkan kata-kata dari al-Qur'an. Adapun tajwidnya huruf adalah mendatangi huruf dengan sebaik-baik lafadz sesuai dengan cara pengucapan huruf yang terbaik, yaiatu cara pengucapan Rasulullah SAW. Sedangkan menurut ulama Qurra`, seperti yang terekam dalam nazham syairJazariyyahadalah membaca al-Qur'an dengan memenuhi hak-hak (makhraj-makhraj) huruf dengan semestinya, dengan memperhatikan semua sifat al-huruf. Selain itu juga membaca secara seimbang bacaan yang mempunyai hukum sama.
Sejarah Ilmu Tajwid
Sebenarnya, ilmu tajwid ini sandaran pokoknya secara praktis adalah Rasulullah SAW sendiri. Pada awalnya, ilmu tajwid ini adalah hasil pembacaan Nabi SAW atas al-Qur'an yang ditashihkan kepada malaikat Jibril AS. Adapun Jibril mendapatkannya dari Allah Rabb al-‘Izzati. Kemudian Nabi SAW mengajarkannya kepada para sahabat seperti yang beliau dengar dari Jibril AS. Demikian pula para sahabat juga mengajarkan kepada para tabi’in, tabi’in kepada tabi’ al-tabi’in. Begitulah seterusnya pengajaran tajwid hingga masa sekarang dalam mata rantai yang dimulai dari Nabi SAW, dari Jibril dari Rabb al-‘Alamin al-ladzi ‘allama al-insan ma lam ya’lam.
Konon para sahabat membaca al-Qur'an dengan benar (haqqa tilawatih) dan membacanya dengan benar-benar tartil dengan bergantung pada tabi’at, watak, ke-Arab-an, lurusnya aksentuasi, kefasihan lisan, serta kuatnya hafalan. Secara tabi’at, mereka tidak salah dalam men-tartil-kan al-Qur'an setelah menerimanya dari Nabi SAW, seperti mereka tidak pernah salah dalam mengucapkan kalam Arab yang ditemui dari kaum mereka. Padahal pada waktu itu dan sesudah itu, ilmu tajwid belum dihimpun, begitu pula ilmu nahwu. Namun setelah tersebar kesalahan dan kesamaran pengucapan/lisan maka dibutuhkan ditetapkannya kaidah-kaidah ilmu tajwid seperti dibutuhkannya penetapan kaidah ilmu nahwu.
Tentang siapa yang memulainya dan kepada siapa secara ilmiah ilmu ini disandarkan, ada tiga pendapat. Ada yang mengatakan Abu al-Aswad al-Du`ali (w. 99 H), atau Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam (w. 224 H.), atau al-Khalil bin Ahmad (w. 170 H). Yang pasti paduan utama dalam hal ini adalah Rasulullah SAW sendiri.
Tidak jelas diketahui siapa yang men-tadwin ilmu tajwid ini, walaupun sejak dulu telah ada ulama yang concern dalam ilmu ini, dan telah diketahui kitab dalam ilmu ini yaitu al-‘Ain, yang ditulis oleh al-Khalil. Adapun kitab Sibawaih adalah kitab yang paling dahulu dalam pembahasan ilmu tajwid ini.
Hubungan Ilmu Tajwid Dengan Ilmu Qiroat
Hubungan tajwid dengan ilmu qiroat tentu sangat kuat. Karena qiroat adalah variasi dari cara membaca kalimat-kalimat al-Qur'an. Sedangkan al-Qur'an sendiri diturunkan dengan tartil. Ini menurut versi kitab Shafahat. Tapi agaknya qiroat bisa dianalogikan dengan mazhab fiqh. Sedangkan tajwid adalah variasi cara beribadah dalam sebuah mazhab fiqh. Artinya, tajwid adalah sebuah aturan membaca al-Qur'an dalam sebuah madzhab qiroat yang tentu saja disesuaikan dengan mazhab qiroat masing-masing yang dianut. Lalu apa itu tartil?
Tartil secara bahasa diambil dari mashdar kata رتّل mengikuti bab taf’il. Dikatakan رتّل فلان كلامه yang berarti mengiringkan antara satu kalam dengan kalamnya yang lain secara perlahan, jadi tidak dengan tergesa-gesa. Adapun secara istilah, tartil adalah membaca al-Qur'an al-Karim dengan perlahan-lahan dan tenang, disertai dengan memikirkan makna-maknanya, serta dalam keadaan menjaga hukum-hukum tajwid dan waqafnya. Atau, singkatnya, tartil adalah cara membaca kitabullah sesuai dengan turunnya.
Tartil itu adalah lafadz yang mencakup tiga tingkatan tilawah (pembacaan) al-Qur'an. Ketiga tingkatan itu adalah tahqiq, hadr, dan tadwir. Sebagian ulama membagi tingkatan ini dengan tartil, tadwir, dan hadr. Sebagian lagi membagi menjadi empat yaitu tahqiq, tartil, tadwir, dan hadr. Akan tetapi menurut imam Ibnu al-Jazariy bahwa tingkatan membaca al-Qur'an itu terbagi menjadi tiga yaitu, tahqiq, hadr, dan tadwir, semuanya termasuk tartil. Akan tetapi dalam kitab Fathu Al-Mannan dibedakan antara tahqiq dengan tartil. Dalam kitab tersebut dijelaskan, bahwa tahqiq itu lebih spesifik daripada tartil. Jadi tahqiq itu sudah pasti tartil, sedangkan tartil itu belum tentu tahqiq. Jadi dalam hal ini dipisahkan antara tartil dengan ketiga tingkatan baca yang lain.
Tiga tingkatan yang telah disebutkan di atas mempunyai level/pengertian yang berbeda-beda. Pertama, tahqiq. Menurut Ibnu al-Jazariy tahqiq secara istilah memberikan hak-hak setiap huruf, seperti memenuhi panjangnya mad, memperjelas hamzah, menyempurnakan harakat, menjelaskan antara izhar dan tasydid, dan semisalnya. Tahqiq ini sangat cocok untuk melatih lisan, memperjelas lafaz-lafaz, dan mempetegak bacaan dengan tartil semaksimal mungkin. Jadi, untuk pemula untuk memperbaiki bacaan sebaiknya mengikuti tipe baca tahqiq ini. Selanjutnya yang dimaksudkan dengan hadr adalah mempercepat bacaan serta memperingannya seukuran masih sahnya riwayat yang sesuai dengan qiroat yang diikuti, dengan mengutamakan washal serta tetap menegakkan i’rab, dan menjaga benarnya lafaz serta kuatnya huruf. Sedangkan yang dimaksud dengan tadwir adalah sedang antara ukuran hadr dan tahqiq.
Sumber:http://pendis.kemenag.go.id/kerangka/pontren.htm
Tidak ada komentar :
Posting Komentar